TUNARUNGU YANG BRILIAN

Oleh: Ir. Rachmita MH, M.Sn. Keterbatasannya dalam pendengaran dan berkomunikasi bukanlah penghalang bagi Ir. Rachmita Maun Harahap, M.Sn, seorang wanita tunarungu,untuk membuktikan potensi luar biasa yang ia miliki. Dengan kecerdasan dan ketekunannya, Mita (begitu ia biasa dipanggil) berhasil menamatkan study S2 nya sebagai lulusan terbaik dan menjadi dosen pada salah satu Universitas di Jakarta dan aktif dalam berbagai organisasi kecacatan. Lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara - tiga diantaranya adalah tunarungu -, Mita merupakan sosok wanita penyandang tunarungu yang penuh semangat dan cita-cita. Sejak kecil ia tidak pernah merasa kecil hati dengan kondisi fisik yang ia miliki. Semangatnya dalam menuntut ilmu memang patut diacungi jempol. Perjalanan panjangnya untuk mencapai kesuksesan dalam pendidikan bukanlah suatu proses yang mudah. Kenyataan yang mengharuskan ayahnya pindah tugas dari satu daerah ke daerah lain memaksanya harus pula berpindah-pindah sekolah. Ketika Mita berumur 4 tahun, ia dan keluarganya pindah dari tanah kelahirannya, Padang Sidempuan, ke Bukittinggi. Ayahnya yang bekerja pada Dinas keuangan ini memang selalu membawa seluruh anggota keluarganya setiap kali pindah tugas. Di Bukittinggi, Mita dan tiga saudaranya yang juga tunarungu mengikuti pendidikan di sekolah umum. Namun ketika ia duduk di kelas 4, kepala sekolah meminta ia dan kakak-kakaknya yang tunarungu untuk pindah ke sekolah luar biasa. "Pihak sekolah beranggapan keberadaan kami akan mengganggu siswa lain," ungkap Mita. Mita yang baru menggunakan alat Bantu dengar pada usia 9 tahun ini akhirnya pindah ke Medan dan bersekolah di SLB Karya Murni Medan. "SLB ini menerapkan pendidikan yang penuh disiplin dan cara pengajarannya juga bagus," tutur wanita yang berkulit kuning langsat ini. Di sekolah ini Mita dilatih untuk bisa mengucapkan kata dengan benar (latihan artikulasi). "Kami dilatih mengucapkan huruf atau kata sampai benar, jika tidak benar kami dihukum, tapi hasilnya bagus" jelas Mita. Selain itu,Mita menambahkan, satu jam sebelum pelajaran dimulai para murid diminta menceritakan kegiatan yang mereka lakukan pada malam hari. Enam bulan kemudian, Mita kembali ikut ayahnya yang kembali pindah tugas. Kali ini, kota tujuan mereka adalah Surabaya. Di kota baru ini, Mita dimasukkan ke sebuah SLB khusus tunarungu. Namun, baru tiga bulan sekolah di Surabaya, Mitha sudah tak betah bersekolah di SLB. Kepada orangtuanya dia merengek minta pindah ke SD umum. “Akhirnya saya berhasil masuk ke SDN X Kertajaya, Surabaya,” katanya. “Syaratnya asal saya bisa bicara,” ungkapnya. Maklum saja, penyandang tunarungu memang biasanya kesulitan untuk berbicara. Ternyata Mitha tak sekadar keras hati. Di SD umum itu, dia membuktikan diri sebagai anak normal. Di kelas lima dan enam, dia berada di ranking 25 besar. Bahkan di bangku SMP, Mitha tembus di 20 besar. Menginjak SMU, Mitha hijrah lagi ke Serang, Jawa Barat. Di sini, prestasi Mitha makin berkembang. Dia bahkan mampu duduk di ranking 10. Bahkan, Mitha juga terpilih sebagai mayoret marching band sekolahnya. Tak tanggung-tanggung, dalam lomba Marching Band antar SMU se Kabupaten Serang, Mitha berhasil terpilih sebagai mayoret terbaik. Setelah lulus dari SMA, Mitha sempat berpikir untuk belajar keterampilan menata rambut. Namun ayahnya yang belum lama dipindahtugaskan ke Jakarta tidak mengizinkan dan menyuruh Mitha untuk kuliah. Mitha berpikir jurusan apa yang cocok buat dia. Karena dia suka menggambar, ia kemudian memutuskan mengambil Fakultas Arsitektur. Ia pun segera mendaftar ke Universitas Mercu Buana yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Memang benar, dibalik kekurangan seseorang pasti ada kelebihan, Mitha berhasil menjadi mahasiswa pertama jurusan arsitektur yang dapat menyelesaikan studinya dalam waktu empat setengah tahun. Karena prestasinya ini, Mitha mendapat beasiswa dari Universitas tempat ia belajar untuk melanjutkan ke jenjang S2. Tanpa ragu, Mitha melanjutkan pendidikan ke ITB mengambil jurusan Design Interior. Sekali lagi ia berhasil menjadi mahasiswa pertama yang lulus dalam waktu 2,3 tahun. Karena beasiswa yang diterimanya merupakan ikatan dinas, Mitha pun kembali ke kampusnya begitu menyelesaikan S2-nya. Mitha dihadapkan pada dua pilihan, menjadi karyawan atau dosen tidak tetap. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Mitha akhirnya memilih menjadi karyawan. Setelah lulus masa percobaan sebagai karyawan, Mitha bersama empat orang rekannya mengikuti psikotes untuk diangkat menjadi karyawan tetap atau dosen tetap. Ternyata dari 5 orang yang mengikuti psikotes itu hanya Mitha sendiri yang lulus. Namun begitu, Mitha tetap tidak bisa diangkat sebagai karyawan tetap karena kecacatan yang ia miliki. Mitha hanya diterima sebagai karyawan kontrak. Disamping bekerja sebagai karyawan, Mitha juga menjadi dosen pada Teknik Arsitektur dan Desain Interior. Bersama beberapa orang temannya, Mitha mengusulkan untuk membuka program Design Interior. Usulannya ini diterima oleh pihak rektorat. Namun lagi-lagi Mita harus menerima kenyatan bahwa penyandang cacat seperti dia selalu tak masuk hitungan. Walaupun menjadi satu-satunya dosen lulusan design interior, Mitha tidak bisa diangkat menjadi ketua program. Mitha sempat menanyakan kondisi ini kepada pihak rektorat. "Mereka bilang kuota untuk menerima penyandang cacat bekerja hanya satu, sementara mereka sudah punya satu orang karyawan tunadaksa," ungkapnya lagi. Tentu saja ada perasaan kecewa pada diri Mitha. Namun Mitha berusaha menyikapi hal ini dengan sabar dan tetap berjuang menghapuskan diskriminasi yang ia alami. Tanggal 24 Agustus Mitha� berhasil membicarakan hal itu dengan Rektor Universitas Mercu Buana, kemudian Rektor memutuskan� Mitha diangkat menjadi Karyawan Tetap pada tanggal 1 Oktober 2005. PERJUANGKAN KEMAJUAN TUNARUNGU LEWAT YAYASAN KELUARGA TUNARUNGU Banyaknya diskriminasi dan masih kurangnya tingkat kesejahteraan para penyandang cacat telah mendorong Ir. Rachmita MH, MSn berjuang untuk penyandang cacat khususnya para tunarungu. Wanita yang juga aktif dalam berbagai organisasi kecacatan ini mencoba mewujudkan perjuangannya tersebut dengan membentuk sebuah Yayasan Tunarungu yang diberi nama "Yayasan Sehjira" (Sehat Jiwa Raga). Menurut Mitha, latar belakang didirikannya Yayasan Sehjira ini adalah karena masih banyak tunarungu yang kesulitan mendapatkan informasi tentang pendidikan dan lapangan kerja. Untuk itu Yayasan yang didirikan pada tanggal 5 Desember 2001 ini mencoba memenuhi kebutuhan para tunarungu tersebut. Di samping itu, Yayasan ini ingin mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi keluarga tunarungu yang kurang mampu. Di bidang pekerjaan, Mitha menyatakan, penyandang cacat (khususnya tunarungu) banyak mengalami diskriminasi. Misalnya, ada penyandang tunarungu yang sudah bekerja dalam waktu lama namun tidak pernah mendapat penyesuaian gaji, atau ada juga penyandang tunarungu yang digaji tidak sesuai dengan kemampuannya. "Dalam kehidupan sosial, penyandang tunarungu sering kali menjadi korban kekerasan dan mengalami diskriminasi," ungkap wanita tunarungu yang menjadi dosen di salah satu Universitas di Jakarta ini. Karena kondisi ini, banyak tunarungu merasa bimbang dan gelisah akan kecacatan yang mereka miliki. Oleh karenanya, melalui yayasan yang ia dirikan ini, Mitha ingin mengupayakan peningkatan kualitas hidup para tunarungu. Untuk itu, dalam program kerjanya, Yayasan Sejira mencoba bekerjasama dengan pemerintah, perusahaan dan organisasi-organisasi lain dalam hal penggalangan dana dan advokasi. Yayasan ini juga akan mengupayakan bea siswa untuk anak-anak tunarungu yang kurang mampu, menyalurkan tenaga kerja dan memberikan pelatihan untuk peningkatan skill para tunarungu. Sejauh ini, program yang sudah dilaksanakan oleh Yayasan ini adalah memberikan pelatihan menjahit. Mitha menyampaikan bahwa mereka telah mendapatkan bantuan lima mesin jahit dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat, sebuah institusi dibawah dinas sosial Pemda DKI Jakarta. Pelatihan wirausaha mebel, cetak sablon, kemandirian bekerja tunarungu, kemandirian remaja tunarungu, seminar dan sebagainya. Program lain yang sekarang sedang dijalankan adalah pertemuan rutin antara sesama tunarungu dan para volunteer. Dalam kegiatan ini, para volunteer diperkenalkan dengan bahasa isyarat sehingga dapat membantu mereka berkomunikasi dengan tunarungu. Di samping itu, mereka juga ingin memasyarakatkan bahasa isyarat agar memudahkan komunikasi. "Menggunakan bahasa isyarat adalah hak para tunarungu, untuk itu masyarakat luaspun sebaiknya dikenalkan dengan bahasa isyarat ini," jelas Mitha. Mitha menyadari bahasa isyarat belum bisa diterima secara menyeluruh di masyarakat. Banyak orang tua dan sekolah yang menolak penggunaan bahasa isyarat. "Melarang menggunakan bahasa isyarat di sekolah umum merupakan perampasan terhadap hak anak-anak tunarungu untuk bebas berkomunikasi, " ungkap wanita yang menjabat sebagai Koordinator bidang PU, Informasi dan Perhubungan di Pengurus Pusat Persatuan Penyandang Cacat indonesia (PPCI). Melalui Yayasan Sejira ini Mitha ingin mengupayakan pengenalan bahasa isyarat kepada masyarakat. "Saya ingin adanya saling pemahaman dan pengertian di masyarakat Indonesia agar keberadaan bahasa isyarat bisa diterima dengan baik," ungkap Mita. Memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Mita dan para tunarungu lainnya untuk bisa mengangkat harkat dan martabat para penyandang cacat, khususnya penyandang tunarungu. Secara pribadi, Mitha memiliki obsesi untuk mendirikan sekolah khusus anak-anak tunarungu, mulai dari TK sampai SMA, dengan kurikulum umum dan ijazah umum. Di samping itu, Mita mengharapkan adanya amandemen terhadap UU yang mengatur masalah Penyandang Cacat agar lebih mengakomodir kebutuhan dari masing-masing kecacatan. "Hidup memang tidak harus selalu indah, namun keindahan hidup itu justru terletak pada kekurangsempurnaan yang kita miliki". Itulah yang selalu ditanamkan Mita pada dirinya dan pada penyandang tunarungu lainnya.

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow us !

Blogger news

Trending

Tayangan

Tabs

Pengikut

item