PENGALAMAN MENGAWASI ANAK INKLUSI dalam UN
https://slbdayaananda.blogspot.com/2014/04/pengalaman-mengawasi-anak-inklusi-dalam.html
Menjalankan tugas negara sebagai pengawas
Ujian NAsional (UN) bagi siswa-siswi SMA/MA/SMK sebenarnya terasa biasa,
seperti tahun-tahun lalu. Hanya, tempat tugas tahun ini berpindah, yaitu di SMA
Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Dengan lokasi yang khas Yogya, karena berada di
jantung daerah Kotagedhe, sekolah ini terasa istimewa. Meskipun Kotagedhe bukan
kota yang asing bagi saya, tetapi setiap kali memasuki gang-gangnya, saya
selalu menemukan sensasi tersendiri.
Pikir saya, pasti managemen sekolah harus agak sedikit ‘repot’ melayani siswa-siswa berkebutuhan khusus ini.
Tidak hanya itu, sekolah ini juga sibuk menerima tamu-tamu istimewa. Yang
saya maksud dengan tamu-tamu istimewa adalah wartawan, fotografer,
cameramen plus pejabat-pejabat yang terkait dengan penyelenggara UN. Kepala
Dinas dari Kota Yogyakarta hingga Propinsi, Rektor UNY, bahkan pejabat dari
Jakarta-pun hadir. Rupanya para wartawan juga tahu bahwa dengan meliput sekolah
ini, mereka akan mendapat berita.
Sampai akhirnya saya sendiri mendapat giliran mengawas di ruang S-29,
ruang ujian yang hanya diisi oleh 4 siswa inklusi. Pada ujian mata pelajaran
bahasa Inggris, pagi tadi saya mendengar suara rekan guru membacakan soal
kepada peserta ujian yang kasus low vision. Wah, saya tidak bisa
membayangkan repotnya membacakan soal-soal teks bahasa Inggris yang cukup
panjang. Belum lagi teks non-linier yang biasanya disertai latar gambar,
misalnya iklan hotel, perumahan, lembaga pendidikan dan lain-lain. Dan
ada juga sesi listening yang juga ada gambar-gambarnya. Pasti lumayan repot
bagi rekan saya untuk member deskripsi gambar bagi siswa low vision ini.
Alhasil, sayapun menyiapkan diri dan mental saya memasuki ruang S-29. Mata
pelajaran yang diujikan terakhir bagi siswa program Ilmu Sosial adalah Ekonomi.
Pikir saya, lumayan juga nih karena ujian ekonomi pasti akan ketemu banyak
angka, table, jurnal dan hitungan-hitungan yang lumayan rumit.
Menerima amplop dari panitia, saya sudah merasa ‘aneh’ karena ada dua
amplop berbeda. Satu amplop cukup tebal setebal amplop buat ruang ujian dengan
jumlah 20 siswa. Pikir saya, ini kan hanya buat 3 siswa, kok amplopnya tebal.
Memang yang satu lagi tidak terlalu tebal. Lalu, masuklah saya dengan
partner pengawas memasuki ruangan S-29.
Di
dalam ruang S-29, terdapat 3 bangku yang berjajar diduduki oleh 3 siswa tuna
netra. Di pojok sebelah kanan agak ke belakang ada 1 siswa low vision. Saya
berusaha menenangkan hati saya melihat suasana kelas ini. Saya tahu bahwa
mereka belum beristirahat dari mengerjakan ujian bahasa Inggris sebelumnya.
Saya perkirakan bahwa mereka paling hanya berhenti sekitar 10 menit paling
lama. Tetapi mereka menyambut kedatangan pengawas ujian berikutnya dengan wajah
yang tidak tampak lelah. Mereka berdiri menyambut kami datang dan memberi
salam. Dada saya tiba-tiba sesak hingga hampir tidak mampu menyambut salam
mereka. Sikap mereka menunjukkan motivasi yang tinggi untuk segera mengerjakan
ujian berikutnya. Mereka sama sekali tidak menampakkan bahwa ada yang aneh
dengan mereka. Mereka seperti pejuang yang siap bertempur, bukan prajurit yang
mesti dikasihani.
Saya baru tahu
bahwa soal untuk siswa tuna netra cukup tebal sehingga meski hanya buat 3 orang
saja, amplopnya tebal. Sedangkan buat siswa low vision yang istimewa
adalah huruf-huruf ditulis dengan font yang besar dan seharusnya
tebal. Di ruang itu ada seorang guru pendamping yang mendampingi secara tetap
disamping para pengawas yang berjaga secara bergiliran. Guru pendamping
ini diperlukan karena guru pengawas tidak memahami kebutuhan khusus mereka.
Akhirnya saya mengerti bahwa ternyata lebih mudah mengawasi siswa tuna
netra dibanding dengan siswa low vision. Siswa tuna netra lebih mandiri
dalam membaca soal ujian karena mereka mendapatkan soal dengan huruf Braile.
Secara teknis, mereka juga mandiri menjawab soal dan hampir tidak ditemui
kesulitan dalam menjawab soal.
Sementara, siswa low vision justru yang cukup mengalami kesulitan
secara teknis. Low vision didefinisakan sebagai kemampuan mata untuk
melihat sebagian dan merupakan salah satu bentuk gangguan penglihatan yang
tidak dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. WHO sendiri menyatakan bahwa low
vision berbeda dengan buta. Karena low vision adalah keadaan tidak
melihat sebagian. Justru keadaan inilah yang menjadikan suasana UN di ruang
S-29 mengharu-birukan hati saya. Saya akhirnya membawa soal yang bertuliskan
font yang cukup besar buat siswa low vision. Tetapi di dalam amplop itu
ternyata tidak hanya berisi satu soal, tetapi ada satu lagi dengan ukuran
biasa. Kata guru pendamping, soal yang satu lagi yang dengan ukuran biasa untuk
guru pengawas yang akan mendampingi siswa low vision dengan membantu
membacakan. Oh ini rupanya sistem kerjanya, siswa low vision akan
membaca dengan soal dengan font besar dengan didampingi guru pengawas.
Saya mendekat, memberi
salam dan menanyakan apakah sudah siap mengerjakan soal. Dia menjawab dengan ramah
bahwa dia sudah siap. Saya segera mencoba menguasai situasi dengan beramah
tamah sebentar sambil saya katakana ke guru pendamping untuk mengajari saya apa
dan bagaimana saya harus membantu siswa ini. Guru pendamping akhirnya
memberikan instruksi kepada saya untuk membacakan soal. Beberapa kali saya
harus mengulang urutan ketika membacakan soal. Saya pikir saya akan membacakan
pertanyaan soal dulu sebelum membacakan pernyataan dalam soal karena cara ini
akan membantu dia lebih mudah memahami soal. Itupun saya pikir juga tidak akan
terlalu mudah bagi siapa saja untuk langsung menjawabnya.
Disinilah pikiran saya berkecamuk luar biasa ketika menyadari betapa
siswa low vision ini harus melalui sebuah proses yang luar biasa. Untuk
menjawab sebuah soal, dia tidak mungkin hanya cukup mendengarkan suara saya.
Dia perlu melakukan konfirmasi atas pilihan-pilihan jawabannya dengan membaca
ulang pernyataan dalam soal hingga beberapa kali baru seseorang bisa menemukan
jawaban yang diyakini benar. Ada sekali dua kali dia meminta saya mengulang
pilihan jawaban yang mendekati, namun dia akhirnya ada saat perlu merasa harus
membaca sendiri. apalagi jika soalnya berupa hitungan angka-angka yang
kompleks. Saya harus terdiam lama dengan dada sesak menyaksikan pemandangan itu.
Kertas soal dengan font yang besar itu rupanya kurang ideal buat siswa
ini. Dia perlu font yang lebih besar dan hitam (bold). Saya
perkirakan dia harus mendekatkan tulisan pada kertas itu ke dekat matanya
sekitar 5 cm sehingga wajahnya menyentuh kertas soal. Sambil dia menggerakkan
kertas ke kanan dan kiri.
Meskipun tidak terlalu sempurna, panitia UN sudah maksimal menyiapkan
instrument yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan setiap siswa, baik yang
normal maupun yang berkebutuhan khusus. Meskipun media mengkritik pelaksanaan
UN di sana-sini, saya pribadi merasa bahwa usaha seperti ini luar biasa.
Pengalaman hari itu sungguh luar biasa bagi saya. Saya merasa Tuhan
sangat lihai memperlihatkan dirinya lewat anak ini. Jika kita dengan kondisi
normal saja, kita masih perlu langkah, cara, dan strategi buat menguasai dan
mengerjakan soal-soal ujian ini, anak dengan kebutuhan khusus ini harus dua
kali lipat usahanya dari kita. Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang
hendak kita dustakan?
Sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/